MUI Bantah Fatwa Penggunaan Medsos Demi Pihak Tertentu

Sejak dikeluarkannya fatwa penggunaan media sosial awal pekan ini, banyak suara yang menyangsikan alasan kemunculan aturan ini. Maka, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun membantah anggapan bahwa fatwa bermedia sosial ini demi kepentingan pemerintah atau pihak tertentu.

“Tidak. Tanggung jawab sosial keulamaan untuk menjawab permasalahan, current issues, di masyarakat, yaitu media sosial,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni’am, saat diskusi bersama Kominfo di Jakarta, Jumat (9/6/2017).

Sebelum menetapkan fatwa, tidak hanya menggali literatur keagamaan, MUI juga meninjau regulasi yang telah ada, langkah yang telah dilakukan, memetakan masalah, meminta pendapat ahli serta mengkaji penelitian.

Setelah melalui perbaikan, MUI akhirnya mengumumkan Fatwa Medsos pada Senin (5/6/2017) lalu.

Seperti dilansir Antara, Asrorun mengatakan mereka tidak akan berhenti di fatwa melainkan akan menyebarkannya ke masyarakat. Bertepatan dengan bulan Ramadan, fatwa ini pun dapat menjadi bahan untuk berdakwah.

Ia juga mengingatkan bahwa pelanggaran dari fatwa ini akan menimbulkan sanksi moral. “Sanksi moral, tapi, tidak dibenarkan kalau ada yang melanggar, lalu main hakim sendiri,” kata Asrorun.
Fatwa medsos MUI ini, menurut PBNU, merupakan bagian dari ikhtiar agar media sosial tidak menjadi faktor destruksi sosial. Pernyataan ini dikemukakan Ketua PBNU Bidang Hukum Robikin Emhas.

“Yang dilakukan MUI adalah bagian dari ikhtiar agar medsos tidak menjadi faktor destruksi sosial,” kata Robikin di Jakarta, Rabu (7/6/2017).

Robikin menilai, jika faktor destruksi sosial dari medsos ini tidak dicegah, bisa menurunkan “kohesivitas” (keinginan untuk mempertahankan) kebangsaan masyarakat Indonesia.

Dalam fatwa tersebut di antaranya dinyatakan haram bagi setiap muslim dalam beraktivitas di media sosial melakukan ghibah (menggunjing), fitnah (menyebarkan informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran), adu domba (namimah), dan penyebaran permusuhan.

Selain itu, fatwa tersebut mengharamkan setiap muslim melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan.

Fatwa itu juga mengharamkan bagi setiap muslim untuk menyebarkan hoax serta informasi bohong, menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syariat dan menyebarkan konten yang benar namun tidak sesuai tempat dan waktu.

Dinyatakan pula dalam fatwa tersebut, memproduksi, menyebarkan, dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat, hukumnya haram.

Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan syariat.

MUI menyatakan haram memproduksi dan menyebarkan konten informasi yang bertujuan membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak.

Selain itu menyebarkan konten pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.

sumber : https://tirto.id/mui-bantah-fatwa-penggunaan-medsos-demi-pihak-tertentu-cqpp

Sopan Santun kepada Lawan atau Musuh

Musuh adalah ia yang bermaksud/berusaha menjatuhkan mudarat bagi Anda. Dalam konteks menghadapi lawan/musuh, norma utamanya tidak berbeda dengan objek-objek lainnya, yakni “adil/menempatkan segala sesuatu pada tempatnya”. Jika musuh Anda manusia, tempatkanlah ia sebagai manusia. Karena itu, jangan musuhi kemanusiaannya, tetapi musuhilah perbuatannya.

Secara tegas, Allah SWT., memerintahkan untuk berlaku adil kepada semua pihak, janganlah kebencian kamu terhadap satu kaum menajadikan kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah! Demikian pesan-Nya dalam Q.S. al-Ma’idah ayat 8.

Langkah pertama dalam berinteraksi dengan lawan adalah mencari celah agar tercapai perdamaian walau yang bersifat pasif. Dalam Q.S. al-A’raf ayat 199, Allah berpesan kepada Nabi SAW., dengan tiga pesan.

Pertama, ambillah maaf, yakni pilihlah pemaafan dalam interaksimu dengan yang bersalah, hiasilah diri dengannya, jangan memilih lawan pemaafan atau jangan menuntut dari orang lain suatu perlakuan yang sulit mereka lakukan. Terimalah dengan tulus apa yang mudah mereka lakukan, jangan menuntut terlalu banyak atau yang sempurna sehingga memberatkan mereka agar mereka tidak antipati dan menjauhimu. Dan hendaklah engkau selalu bersikap lemah lembut serta memaafkan kesalahan dan kekurangan mereka.

Dalam keseharian, kita dapat menemukan orang yang tidak mengerti tata cara bergaul dengan baik, tidak tahu bagaimana menyapa orang terhormat. Setan sering kali datang berbisik: “Engkau dilecehkan oleh orang ini padahal engkau begini dan begitu,” sambil menyebut sekian banyak keistimewaan dan kedudukan yang dilecehkan. Nah, di sinilah tempatnya pesan pertama ini.

Kedua, perintahkan ma’ruf, yakni sesuatu yang telah dikenal baik oleh masyarakat atau budaya, lagi sesuai dengan tuntunan agama, yakni budaya positif masyarakat. Ini yang hendaknya diperintahkan karena ia telah diakui kebaikannya. Dalam Q.S. Ali’imran ayat 104, di samping berpesan agar memerintahkan yang ma’ruf, Allah juga berpesan mengajak kepada yang baik. Sekali lagi, mengajak, bukan memerintahkan, karena boleh jadi yang baik ini belum terjangkau atau diketahui kebaikannya oleh masyarakat luas.

Ketiga, berpalinglah dari orang-orang jahil/picik, yakni jangan layani kejahilannya, jangan jawab pelecehan dan makiannya, jangan menyiram bensin di percikan api, karena itu akan menyulut kobaran yang tak terkendali. Kalau ada yang memakimu, katakan padanya: ”Jika makianmu benar, semoga Allah Mengampuniku dan jika salah, maka semoga Allah mengampunimu.” Atau katakan kepadanya: “Jika engkau memakiku dengan sepuluh makian, engkau tidak akan medengar dariku walau satu makian,” begitu dua pesan dari orang bijak.

Tiga pesan yang dikemukakan ayat di atas merupakan dasar pokok dalam membina hubungan harmonis dengan sesama manusia dan ketiganya adalah gambaran dan akhlak luhur yang mestinya menghiasi setiap manusia.

Manusia dianugerahi Allah potensi positif dan negatif. Jika potensi positifnya disentuh, terbuka kemungkinan besar terelakkannya dampak potensi negatif. Demikian juga sebaliknya. Karena itu, sementara pakar berpendapat bahwa: Bersama benci terpendam benih benci. Karena itu, al-Qur’an menegaskan sambil berpesan: Tidaklah sama kebaikan dan tidak (juga) kejahatan. Tolaklah (keburukan) dengan yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan (akan beralih sikapnya sehingga) seolah-olah dia teman yang sangat setia (Q.S. ayat Fushshilat 34).

Ketika menafsikan ayat di atas, dalam Tafsir al-Mishbah penulis antara lain mengemukakan salah satu maknanya, yaitu: Tidak sama peringkatnya kebajikan dan pelakunya.

Ada kebajikan yang sangat baik, seperti memaafkan sekaligus berbuat baik kepada yang bersalah. Ada juga yang hanya baik, seperti sekedar memaafkan, tanpa berbuat baik. Demikian juga dengan kejahatan. Ada yang mencapai puncaknya, yaitu syirik yang tidak dapat terhapus, kecuali dengan ketulusan bertaubat. Ada juga yang tingkatnya hanya dosa kecil serta dapat dihapus Allah dengan berwudhu’ dan shalat. Ada keburukan yang hanya dipendam di hati, ada juga yang dicetuskan dengan kata-kata, dan ada lagi yang di sertai dengan gerakan tangan, seperti memukul atau memerangi.

Nah, ayat di atas memerintahkan untuk membahas keburukan dengan yang lebih baik, bukan sekadar yang baik. Tunjukkanlah kebaikan kepada yang bermaksud buruk terhadap Anda. Sampaikan “salam” Anda, bahkan hadiah tanda persahabatan. Atau kata sementara orang, “Gunting lidahnya dan belenggu tangannya dengan hadiah Anda.”

Itu yang dianjurkan untuk dilakukan selama yang dihadapi manusia bukan setan karena setan adalah musuh abadi manusia. Jika pesan ayat ini dilakukan, lawan yang tadinya dihadapi insya Allah akan luluh hatinya sehingga kebenciannya mereda, bahkan beralih menjadi keharmonisan. Ini sungguh banyak terjadi dan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan Dalam Perang, Islam Mengajarkan Adab dan Etika

Kalau segala cara untuk menjalin hubungan baik/tidak bermusuhan telah ditempuh dan lawan tetap bersikeras menjatuhkan mudarat, tingkatkanlah upaya untuk membentengi diri menghadapinya. Tingkatkan upaya sedini mungkin dan sebelum ada musuh karena setiap Muslim memang harus berupaya untuk selalu kuat.

Di sinilah ditemukan tuntunan Allah agar mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh (QS. al-Anfal ayat 60). Tetapi, gunakanlah kekuatan itu jika tidak ada jalan lain untuk menampik kejahatan. Ini pun harus disesuaikan dengan tingkat pelanggaran. Dan jika lawan terhenti/berhenti melakukan penganiayaan/kejahatan mereka, aksi yang dilakukan harus segera dihentikan.

QS. al-Baqarah ayat 193 menegaskan: “Perangilah mereka itu sehingga tidak ada lagi penganiayaan dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.”

Yang dimaksud dengan agama/ketaatan kepada Allah bukan berarti mereka harus memeluk agama Islam, tetapi kepatuhan kepada-Nya, di antaranya memberi kebebasan kepada setiap orang untuk melaksanakan agama dan kepercayaannya. Karena itulah salah satu bentuk kepatuhan kepada-Nya adalah: Lakum dinukum wa liya din/bagi agama kamu dan bagi agama kami agama kami, yakni silakan masing-masing melaksanakannya, tanpa saling mengganggu.

Dan jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Kata “zalim” dapat mencakup siapa pun, termasuk kaum Muslim yang melancarkan agresi terhadap mereka yang telah menghentikan penganiayaan.

Perlu diingat bahwa Islam sangat membenci kekerasan, apalagi perang. Q.S. al-Baqarah ayat 216 mencatat sikap dasar Muslim menyangkut perang dengan firman-Nya: Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu tidak senangi, (namun) bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagi kamu, dan bisa jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagi kamu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Nabi Muhammad SAW., dan sahabat-sahabat beliau, bahkan umat Islam yang ditujukan kepada mereka firman ini, bahkan manusia normal, tidak akan menyukai peperangan karena perang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa, terjadinya cedera, jatuhnya korban, harta benda, dan sebagainya. Sedang semua manusia cenderung mempertahankan hidup dan memelihara harta benda.

Lebih-lebih yang imannya telah bersemai dalam dada mereka sehingga membutuhkan rahmat dan kasih sayang. Allah mengetahui bahwa perang tidak mereka senangi, tetapi berjuang menyingkirkan penganiayaan  dan menegakkan keadilan mengharuskannya. Peperangan bagaikan obat yang pahit, ia tidak disenangi, tetapi harus diminum demi memelihara kesehatan. Demikian ayat ini dari satu sisi mengakui naluri manusia, tetapi dari sisi lain mengingatkan keniscayaan hal tersebut jika kondisi mengharuskannya.

Salah satu sebab diizinkan perang bagi mereka yang teraniaya adalah mempertahankan eksistensi rumah-rumah ibadah. Q.S. al-Hajj ayat 40 menjelaskan bahwa: Sekiranya Allah tidak mengizinkan menolak sebagian manusia (yang berlaku aniaya dengan sebagian yang lain, yakni yang bermaksud menampikna), tentulah telah dirobohkan biara-biara dan gereja-gereja, serta sinagog-sinagog dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.

Kalaupun perang tidak dapat dielakkan, ada pesan-pesan yang harus diindahkan. Antara lain: Jangan membunuh orang tua, wanita, atau anak kecil, jangan melakukan mutilasi, kalau harus membunuh maka lakukanlah tanpa menyiksa (dengan) tebaslah lehernya (Q.S. Muhammad ayat 4) karena itu cara yang tercepat untuk menghabisi nyawa seseorang. Di samping itu, jangan juga menebang pohon atau meruntuhkan bangunan atau membumihanguskan daerah.

Al-Qur’an juga menekankan bahwa kalau ada ikatan perjanjian antara kaum Muslim dengan selain mereka, perjanjian itu harus dihormati. Kalau pun ada tanda pengkhianatan dari mereka, maka sebelum mengambil tindakan harus disampaikan terlebih dahulu kepada mereka bahwa perjanjian dibatalkan. Demikian pesan dalam Q.S. al-Antal ayat 58.

Sahabat Nabi, Huzaifah Ibn al-Yaman RA., bersama ayahnya pernah ditawan oleh kaum musyrik Mekkah, lalu dibebaskan dengan syarat tidak akan berpihak kepada Nabi jika terjadi peperangan. Huzaifah bermaksud ikut dalam perang Badr, tetapi Nabi SAW., melarangnya dan memerintahkannya untuk menepati janjinya.

Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW., memerintahkan untuk memperlakukan para tawanan dengan baik. Al-Qur’an merekam perlakuan yang sangat istimewa dari sahabat Nabi terhadap tawanan dengan melukiskan bahwa: Mereka memberi pangan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan (Q.S. al-Insan ayat 8).

Aziz bin ‘Umar, salah satu seorang tawanan perang, menceritakan bahwa: “Aku tertawan oleh sekelompok orang-orang Anshar saat makan siang atau malam dihidangkan, mereka memberi aku roti atau kurma istimewa, sedang mereka sendiri makan kurma biasa. Aku malu, maka kukembalikan roti itu kepada mereka, namun mereka tetap memberiku.”

Korban-korban perang yang tewas diperintahkan oleh Nabi SAW., agar dikubur secara wajar sebagai manusia. Jika keluarga korban yang tewas ingin mengambil jasad korban, mereka dapat mengambilnya tanpa tebusan. Amr bin Andi Wud, salah seorang tokoh kaum musyrik yang tewas setelah berduel dengan Sayyidina Ali dalam Perang Khandaq, diminta jenazahnya oleh kaum musyrik sambil menawarkan sejumlah imbalan.

Nabi SAW., Bersabda: “Ambil saja buat kalian, kami tidak memakan harga orang mati” (H.R. At-Tirmidzy dan al-Baihaqy).

Selanjutnya, dapat ditambahkan, dalam konteks bagaimana sikap Nabi Muhammad SAW., menghadapi musuh, sangat populer sikap Nabi ketika memasuki kota Mekkah dengan gemilang. Tergambar jelas bagaimana ucapan beliau memperlakukan mereka yang menganiaya dan mengusir beliau dari tumpah darahnya dengan sangat istimewa: “Kalian adalah saudara atau anak saudara kami yang mulia. Kalian adalah orang-orang bebas.”

Demikian sedikit yang dapat dikemukakan dalam konteks prinsip-prinsip adab Islam dalam mengahadapi lawan/musuh di medan perang. Wa Allah A’lam.

sumber : https://tirto.id/bahkan-dalam-perang-islam-mengajarkan-adab-dan-etika-cqnV

Tempat Penahanan Ahok Belum Diputuskan Kejagung

Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan lembaga pemasyarakatan yang akan dijadikan sebagai tempat penahanan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) belum diputuskan.

“Nanti kami akan putuskan (Di Salemba atau Cipinang),” kata HM Prasetyo di Jakarta, Jumat (9/5/2017).

Eksekusi terhadap Ahok itu tinggal dilaksanakan setelah Kejaksaan selaku Penuntut Umum mencabut permohonan bandingnya ke Pengadilan Tinggi. Demikian pula dari pihak Ahok sendiri sudah mencabutnya hingga harus menjalani masa hukuman selama 2 tahun penjara.

Terkait permintaan dari pengacara Ahok yang merasa tidak aman jika Ahok ditempatkan di Lapas Cipinang, ia katakan, hal itu akan dipertimbangkan dan dijadikan masukan.

“Kalau betul tidak aman masa kami paksakan. Kalau ada apa-apa juga nanti banyak pihak yang bertanggung jawab. Tapi tidak ada perlakuan istimewa untuk setiap kami melaksanakan putusan pengadilan,” katanya.

Soal penempatan itu, kata dia, bukanlah kewenangan kejaksaan melainkan kewenangan dari Dirjen Lapas Kemenkumham. “Bukan kompetensi kami untuk menentukan di mana penempatan itu,” ujarnya.

Terkait pelaksanaan eksekusi sendiri, kata dia, pihaknya menunggu salinan putusan dari pengadilan. “Begitu sudah diterima dari pengadilan ya sudah kami laksanakan putusannya,” tutur Jaksa Agung.

Ia menyebutkan pencabutan banding itu dilihat dari unsur kemanfaatan karena hukum itu bukan soal keadilan tapi juga kemanfaatan.

“Saya rasa dengan Jaksa juga mencabut bandingnya itu, tentunya lebih bisa berkonsentrasi di tugas lain,” katanya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menarik memori banding mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dari Pengadilan Tinggi Jakarta. Inkracht memang belum ditetapkan, akan tetapi otomatis Ahok kini berstatus narapidana. Ia pun akan menjalani hukuman di penjara selama dua tahun atas kasus penodaan agama yang menjeratnya sejak vonis Mei lalu.

Hingga saat ini Ahok masih ditahan di Mako Brimob, dan menunggu eksekusi penahanan apakah akan dipindahkan dari Mako Brimob ke Lapas Cipinang atau lapas lainnya belum ada kepastian.

Ahok menjadi terdakwa perkara penodaan agama setelah video pidatonya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, ketika dia menyebut adanya pihak yang menggunakan Alquran Surat Al Maidah 51 untuk membohongi, beredar, dan memicu serangkaian aksi besar dari organisasi-organisasi massa Islam.

Ahok divonis 2 tahun penjara. Vonis hukuman itu lebih berat ketimbang tuntutan jaksa, yang meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara selama satu tahun dengan dua tahun masa percobaan karena menilai Ahok terbukti melanggar rumusan unsur pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sumber : https://tirto.id/tempat-penahanan-ahok-belum-diputuskan-kejagung