Jawa Timur Raih Juara Umum Kejurnas Atletik U-18 dan U-20

JAKARTA, KOMPAS.com – Provinsi Jawa Timur berhasil menjadi juara umum pada Kejuaraan Nasional Atletik U-18 dan U-20 2017 yang berlangsung di Stadion Atletik Rawamangun, Jakarta.

Jawa Timur memastikan status juara umum pada ajang ini berkat raihan 37 medali, dengan rincian 15 emas, 13 perak, dan 9 perunggu.

Pada hari terakhir, Senin (24/4/2017), Jawa Timur menambah 6 medali emas, 2 perak, dan 1 perunggu.

Tiga medali emas di antaranya diraih Jawa Timur melalui nomor lomba lari 5.000m putra (yunior), 4x100m estafet putra (yunior), dan 4x400m putra (yunior).

Sementara itu, posisi kedua perolehan medali diduduki oleh Provinsi DKI Jakarta. Mereka mengoleksi total 29 medali dengan rincian 11 emas, 10 perak, dan 8 perunggu.

Adapun sang juara tahun lalu, Jawa Tengah, kini hanya menempati urutan ketiga pada daftar perolehan medali.

Tahun ini, Jawa Tengah mendapatkan 10 emas, 14 perak, dan 14 perunggu (total 38 medali).

Perlombaan hari terakhir juga terjadi satu pemecahan rekor yang ditorehkan oleh atlet Lampung, Nabella Ariantika, pada nomor sapta lomba putri (yunior). Ia mengukir rekor anyar setelah mengumpulkan 4051 poin.

Berikut ini adalah daftar lengkap perolehan medali Kejurnas Atletik U-18 dan U-20 2017 hingga Senin (24/4/2017).

1. Jawa Timur 15 13 9 = 37
2. DKI Jakarta 11 10 8 = 29
3. Jawa Tengah 10 14 14 = 38
4. Jawa Barat 9 12 9 = 30
5. Sumatera Barat 8 5 7 = 20
6. Riau 3 5 2 = 10
7. Bangka Belitung 3 2 4 = 9
8. Maluku 3 1 3 = 7
9. Sulawesi Selatan 3 1 2 = 6
10. Lampung 2 2 1 = 5
11. Banten 2 2 2 = 6
12. Bali 2 1 1 = 4
13. Nusa Tenggara Barat 2 1 1 = 4
14. DI Yogyakarta 2 1 0 = 3
15. Sumatera Utara 2 0 1 = 3
16. Aceh 1 1 1 = 3
17. Bengkulu 1 1 2 = 4
18. Gorontalo 1 0 3 = 4
19. Jambi 1 0 1 = 2
20. Maluku Utara 0 3 0 = 3
21. Papua Barat 0 1 1 = 2
22. Sumatera Selatan 0 1 1 = 2
23. Kalimantan Timur 0 1 0 = 1
24. Kalimantan Barat 0 1 0 = 1
25. Kalimantan Utara 0 0 1 = 1
26. Sulawesi Tenggara 0 0 1 = 1
27. Kalimantan Selatan 0 0 1 = 1

sumber

SAMBUT KEBANGKITAN MELALUI PEMERATAAN PEMBANGUNAN

UINSA Newsroom, Senin (22/05/2017); Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang biasa diperingati setiap tanggal 20 Mei, tahun ini sedikit berbeda. Dikarenakan hari peringatan yang jatuh pada hari libur kantor tersebut, sehingga berdasarkan Edaran dari Sekdaprov, beberapa instansi di Jawa Timur menggelarnya pada 22 Mei 2017. Salah satunya UIN Sunan Ampel Surabaya. Harkitnas Ke-109 tahun 2017 yang diperingati guna mengenang perjuangan pergerakan Boedi Oetomo sekaligus membangkitkan kembali semangat kebangsaan dan nasionalisme itu mengusung tema “Pemerataan Pembangunan Indonesia yang Berkeadilan sebagai Wujud Kebangkitan Nasional”.

Dilaksanakan di halaman Gedung Twin Tower, upacara peringatan Harkitnas Ke-109 tahun 2017 tersebut dipimpin Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. M. Sahid, M.Ag. membacakan sambutan Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Rudiantara, Dr. Sahid menyampaikan, bahwa semangat kebangkitan nasional tidak pernah memudar, namun justru semakin menunjukkan urgensinya bagi kehidupan berbangsa. Padahal semangat itu sudah tercetus setidaknya 109 tahun yang lalu, ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo yang hingga sekarang tetap ampuh menyatukan dan menyemangati gerak kita sebagai bangsa.

“Betapa tak mudahnya para pendahulu merajut angan Ke-Indonesiaan saat itu, ketika infrastruktur dan komunikasi masih terbatas, ketika sumber daya insani yang teguh dengan pemikiran Ke-Indonesia-an masih dapat dihitung dengan jari, ketika acuan untuk memperkokoh dasar-dasar kesamaan suku bangsa dan adat masih belum mengakar kuat, ketika semuanya itu berada dalam konteks ketakutan akan kekejaman kolonialis yang siaga memberangus setiap pemikiran yang memantik hasrat lepas dari belenggu penjajahan,” ujar Dr. Sahid menegaskan.

Karena itu, dalam sambutan tersebut Menkominfo mengapresiasi upaya Presiden Joko Widodo pada awal tahun 2017 yang telah mencanangkan penekanan khusus pada aspek pemerataan dalam semua bidang pembangunan. Sebab, pada awal tahun 2017, meski angkanya membaik dibanding tahun sebelumnya, koefisien Nisbah Gini atau Gini ratio, yang merupakan ukuran kesenjangan distribusi pendapatan dan kekayaan penduduk, masih sekitar 40 persen. Untuk itu, Presiden meminta aparat penyelenggara negara bekerja keras menurunkan indeks kesenjangan tersebut melalui berbagai langkah yang multidimensi.

Tema “Pemerataan Pembangunan Indonesia yang Berkeadilan sebagai Wujud Kebangkitan Nasional” yang menjadi tema peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun 2017, menurut Menkominfo, merupakan pesan yang tepat dan seyogyanya tidak hanya tertanam di dalam hati, namun juga segera diwujudkan melalui strategi, kebijakan, dan implementasi dalam pelayanan kita kepada masyarakat dan bangsa.

“Satu abad lebih sejak organisasi Boedi Oetomo digagas telah memunculkan dimensi baru dalam lanskap sosial budaya seluruh umat manusia. Perubahan besar telah terjadi, yang kalau boleh kita rangkum dalam satu kata, kiranya “digitalisasi” adalah kata yang tepat,” ujar Dr. Sahid.

Berkah digitalisasi yang paling nyata, lanjut Dr. Sahid, hampir terjadi di setiap sektor terkait dengan dipangkasnya waktu perizinan. Proses perizinan yang berlangsung ratusan hari sampai tak terhingga dipangkas secara drastis hingga enam kali lebih cepat dari waktu semula. Kendati, dengan inovasi digital ini setiap sistem dihadapkan pada kejutan-kejutan dan tatacara baru dalam berhimpun dan berkreasi. Sebagian menguatkan, namun tak kalah juga yang mengancam ikatan-ikatan dalam berbangsa. “Satu hai yang pasti, kita harus tetap berpihak untuk mendahulukan kepentingan bangsa di tengah gempuran lawan-lawan yang bisa jadi makin tak kasat mata. Justru karena itulah maka kita tak boleh meninggalkan orientasi untuk terus mewujudkan pemerataan pembangunan yang berkeadilan sosial,” terangnya.

Kedepan, Memnkominfo berharap, agar Bangsa Indonesia bisa meniti ombak besar perubahan digital dengan selamat dan sentosa dan berbuah manis bagi orientasi pelayanan kepada masyarakat. Sebab, hanya dengan semangat untuk tidak meninggalkan satu orang pun tercecer dalam gerbong pembangunan maka Negara Kesatuan Republik Indonesia ini akan tetap jaya. (Nur/Humas)

Sumber

SATU INDONESIA, SATU PANCASILA

UINSA Newsroom, Kamis (01/06/2017); Juni menjadi bulan yang istimewa bagi Bangsa Indonesia. Bulan yang digaungkan sebagai Bulannya Pancasila. Sebab, pada bulan inilah dasar Negara tersebut dirintis sebagai buah pikiran para pendiri bangsa, lantas disahkan sebagai dasar hukum utama Bangsa Indonesia selain UUD 1945. Lebih istimewa lagi, ketika pada tahun 2016, tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus Hari Libur Nasional berdasarkan Keppres RI Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila. Dalam Keppres tersebut, Presiden RI juga mengamanatkan bahwa Pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dan Masyarakat Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni.

UIN Sunan Ampel Surabaya, dalam rangka peringatan Hari Lahir Pancasila tahun 2017 pun menggelar Upacara Bendera yang diselenggarakan di Halaman Gedung Twin Tower pada pukul 08.00 WIB. Dalam upacara yang mengusung tema ‘Saya lndonesia, Saya Pancasila’ tersebut, Dr. H. Imam Ghazali, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora bertindak sebagai Pembina Upacara. Dr. Ghazali yang membacakan sambutan Presiden RI Joko Widodo menyampaikan, bahwasannya Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila merupakan bentuk meneguhkan komitmen untuk lebih mendalami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pancasila, menurut Presiden, merupakan hasil dari satu kesatuan proses yang dari jiwa besar para founding fathers, para ulama, dan pejuang kemerdekaan dari seluruh pelosok Nusantara sehingga bisa membangun kesepakatan bangsa yang mempersatukan. Sebab, keberagaman merupakan kodrat Bangsa Indonesia. “Namun, kehidupan berbangsa dan bernegara kita sedang mengalami tantangan. Kebinekaan kita sedang diuji. Saat ini ada pandangan dan tindakan yang mengancam kebinekaan dan keikaan kita. Saat ini ada sikap tidak toleran yang mengusung ideologi selain Pancasila. Masalah ini semakin mencemaskan tatkala diperparah oleh penyalahgunaan media sosial yang banyak menggaungkan hoax alias kabar bohong,” ujar Dr. Ghazali menegaskan.

Oleh karenanya, Presiden mengajak peran aktif para ulama, ustadz, pendeta, pastor, bhiksu, pedanda, tokoh masyarakat, pendidik, pelaku seni dan budaya, pelaku media, jajaran birokrasi, TNI dan Polri serta seluruh komponen masyarakat untuk menjaga Pancasila. Pemahaman dan pengamalan Pancasila dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus terus ditingkatkan. Ceramah keagamaan, materi pendidikan, fokus pemberitaan dan perdebatan di media sosial harus menjadi bagian dalam pendalaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.

Komitmen pemerintah untuk penguatan Pancasila, tegas Presiden, sudah jelas dan sangat kuat. Berbagai upaya terus dilakukan. Seperti halnya, telah diundangkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan ldeologi Pancasila guna memperkuat pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, yang terintegrasi dengan program-program pembangunan. Pengentasan kemiskinan, pemerataan kesejahteraan dan berbagai program lainnya, menjadi bagian integral dari pengamalan nilai-nilai Pancasila. “Tidak ada pilihan lain kecuali kita harus bahu membahu menggapai cita-cita bangsa sesuai dengan Pancasila. Tidak ada pilihan lain kecuali seluruh anak bangsa harus menyatukan hati, pikiran dan tenaga untuk persatuan dan persaudaraan. Tidak ada pilihan lain kecuali kita harus kembali ke jati diri sebagai bangsa yang santun, berjiwa gotong royong dan toleran. Dan tidak ada pilihan lain kecuali kita harus menjadikan lndonesia bangsa yang adil, makmur dan bermartabat di mata internasional,” imbuh Dr. Ghazali.

Diakhir sambutan tertulisnya, Presiden mengingatkan agar waspada terhadap segala bentuk pemahaman dan gerakan yang tidak sejalan dengan Pancasila. Pemerintah pasti bertindak tegas terhadap organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan yang AntiPancasila, Anti-UUD 1945, Anti-NKRl, Anti-Bhrnneka Tunggal/ka. “Sekali lagi, jaga perdamaian, jaga persatuan, dan jagapers audaraan di antara kita. Mari kita saling bersikap santun, saling menghormati, saling toleran, dan saling membantu untuk kepentingan bangsa. Mari kita saling bahu-membahu, bergotong royong demi kemajuan lndonesia,” pungkas Dr. Ghazali. (Nur/Humas)

 

Sumber

Tentang Melupakan dan Sebaik-baiknya Memaafkan

Manusia tidak dapat hidup sendirian. Ia membutuhkan teman. Karena itu, bila ia sendirian, maka ia menciptakan sesuatu dalam benak untuk menemaninya. Ia mengkhayal.

Jika ia di hutan lalu bertemu dengan binatang jinak atau pemandangan yang indah, hatinya terhibur. Tetapi, kegembiraannya akan berganda jika ia bertemu dengan sesama jenisnya, yakni manusia.

Dari sini, menurut sementara pakar, putra-putri Adam dinamai insan. Kata ini, menurut mereka, berasal dari kata uns, yakni “senang dan harmoni”. Manusia adalah mahluk yang senang bertemu dengan sesamanya, juga memiliki kecenderungan berinteraksi harmonis dengan sesama manusia.

Memang ada manusia yang terbuka (ekstrovert) dan ada juga yang tertutup (introvert). Tetapi kalau enggan berkata bahwa pada dasarnya manusia terbuka, maka paling tidak manusia yang terbebaskan dari kompleks kejiwaan adalah yang terbuka dan senang bertemu dengan sesamanya.

Ada juga yang berkata bahwa kata insan berasal dari kata nisy yang darinya lahir kata yang berarti “lupa”. Memang tidak ada manusia yang tidak berpotensi lupa, bahkan tidak ada yang terbebaskan dari lupa. Lupa adalah salah satu nikmat Allah yang sangat besar. Alangkah sengsaranya hidup jika masa sedih dan getir yang dialami tidak terkikis dari ingatan kita. Tanpa melupakannya, bayangan buruk akan selalu menghantui kita.

Ada lagi yang berpendapat bahwa kata insan terambil dari kata an-nusu yang berarti “gerak”. Manusia dalam hidupnya dituntut untuk selalu giat bergerak di persada bumi ini. Nah, dalam pergerakan manusia, demikian juga dalam interaksinya, ia bisa salah dan keliru atau lupa dan khilaf. Itu semua adalah manusiawi.

Dari sini agama memberi tuntunan. Jika dalam interaksi itu ada sesama manusia yang bersalah terhadap Anda, maka: jangan lupa bahwa anda pun dapat melakukan hal yang sama, bahkan bisa lebih buruk. Bukankah anda juga insan/manusia yang sama dengannya?

Melihat kenyataan tersebut, maka agama menganjurkan untuk melupakan kesalahan itu. Agama menganjurkan agar Anda memberi maaf.

Maaf terambil dari kata ‘afa yang berarti “menghapus”. Yang memaafkan adalah ia yang menghapus bekas luka di hatinya. Sesuatu yang telah terhapus mestinya tidak diingatkan lagi. Karena itu, keliru yang berkata bahwa, “Saya maafkan, tetapi saya tidak lupakan”.

Memang, ini tidak mudah. Agama pun hanya menganjurkannya, tidak mewajibkannya, karena pemaafan harus tulus dan pemaksaan bertentangan dengan ketulusan. Islam memperbolehkan seseorang membalas kesalahan siapa pun selama balasan itu setimpal.

Q.S. asy-Syura, ketika menjelaskan sebagian sifat orang yang beriman dan berserah diri kepada Allah, melukiskan mereka antara lain: Apabila mereka diperlakukan dengan zalim maka, mereka — yakni kumpulan orang-orang beriman itu — dukung mendukung dan saling membela. Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Tetapi, lanjutan ayat itu menyatakan, “Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (jaminan) Allah (Q.S asy-Syura (42): 40).

Selanjutnya pada ayat 41 surat yang sama, ditekankan sekali lagi bahwa: Sungguh orang yang membela diri sesudah ia teraniaya walau setelah berlalu waktu yang lama, maka tidaklah ada atas mereka satu jalan pun untuk mengecamnya, apalagi menilainya berdosa.

Kemudian pada ayat 43 ditegaskan keutamaan tidak membalas kejahatan pihak lain. Tapi kali ini ayat tersebut tidak menggunakan kata ‘afa (menghapus), tetapi kata shabara yang berarti “menahan diri” dan ghafara yakni “menutupi dan menyembunyikan” — dalam arti memmendam amarahnya dan menyembunyikannya sehingga tidak meledak-ledak berucap sesuatu yang buruk walau kemarahan ada dan hati tetap luka. Maka yang demikian — lanjut ayat tersebut — termasuk hal-hal yang diutamakan.

Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) membalas keburukan — selama dalam batas setimpal — dapat dibenarkan; tetapi (2) menahan amarah dan menyembunyikan dalam hati tanpa berucap buruk walau kesalahan tetap berada di dalam hati, maka itu lebih baik; (3) lalu yang lebih baik lagi daripada itu adalah memaafkan, yakni menghapus luka hati sehingga tidak ada lagi bekasnya dan seakan-akan tidak pernah terjadi; (4) kemudian peringkat tertinggi adalah memaafkan dan berbuat baik kepada siapa yang pernah melakukan kesalahan.

Demikian empat peringkat yang dibenarkan agama. Yang tidak dibenarkannya dan diancamnya dengan siksa adalah yang menganiaya.

Dalam Q.S. Fushshilat ayat 35, Allah berfirman yang maksudnya adalah: Tidaklah sama kebaikan dan pelakunya dengan kejahatan dan pelakunya dan tidak sama juga kejahatan dan pelakunya dengan kebaikan dan pelakunya. Tolaklah sedapat mungkin kejahatan dan keburukan pihak lain dengan memperlakukannya dengan cara yang lebih baik, yakni sebaik-baiknya, kalau tak dapat maka yang baik pun jadilah. Jika itu yang engkau lakukan, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara ia ada permusuhan akan berubah sikapnya terhadapmu sehingga seolah-olah ia telah menjadi teman sangat setia. Sikap menghadapi keburukan dengan kebaikan tidaklah diraih dan diperagakan, kecuali oleh orang-orang yang telah mantap kesabaran serta ketabahannya dan tidaklah ia dianugerahkan melainkan kepada pemilik keberuntungan yang besar dan kesucian jiwa yang luhur.

sumber